Mas Siti Irma
Khoerunnisa
Pendidikan Matematika
41032151111041
Bab
III
KESADARAN
BERBAHASA
3.1 Pengertian
Menurut
hemat penulis, yang dimaksud dengan kesadaran berbahasa ialah sikap seseorang
baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama bertanggung jawab
sehingga menmbulkan rasa memiliki suatu bahasa dan dengan demikian ia
berkemauan untuk ikut membina dan mengembangkan bahasa itu.
3.2 Tanggung Jawab
terhadap Bahasa dan Berbahasa
Orang yang hanya menguasai satu bahasa disebut
monolingual. Orang yang menguasai dua bahasa disebut bilingual atau
dwibahasawan, sedangkan orang yang menguasai lebih dari dua bahasa disebut
multilingual. Rakyat Indonesia kebanyakan dwibahasawan, artinya disamping
menguasai bahasa ibunya, dia juga menguasai BI.
Bagi kita di Indonesia, soal BD dan BI tak perlu
dipertentangkan. Dua-duanya dijamin dalam UUD 1945. Bahasa daerah dab BI saling
mengisi. Dan setiap orang Indonesia seharusnya
berkewajiban memelihara dan mengembangkannya.
Cirri orang yang bertaggung
jawab terhadap suatu bahasa dan pemakaian bahasa adalah :
a.
Selalu berhati-hati menggunakan bahasa
b.
Tidak merasa senang melihat orang yag
mempergunakan bahasa secara serampangan
c.
Memperingatkan pemakaian bahasa kalau
ternyata ia membuat kekeliruan
d.
Tertarik perhatiannya kalau orang
menjelaskan hal yang behubungan dengan bahasa
e.
Dapat mengoreksi pemakaia bahasa orang
lain
f.
Berusaha menambah pengetahuan tentang
bahasa tersebut
g.
Bertanya kepada ahlinyakalau menghadapi
persoalan bahasa.
3.3 Sikap terhadap Bahasa dan
Berbahasa
Tiap bahasa adalah penjelmaan yang
unik dari suatu kebudayaan yang unik . . . (St. Takdir Alisyahbana dalam Amran
Halim I. Ed, 1976 : 40). Marilah kita liat percakapan ini:
+ Pi di mana ngana? ‘engkau pergi ke
mana’
- Pi di pasar ‘pergi ke pasar’
+ Pi bikin apa? ‘untuk apa’
-
Pi bili ikan deng sayor. ‘pergi membeli ikan dan
sayur’
+ Bole kita baku iko? ‘Bolehkan aku ikut’
-
Bole, mari jo! ‘boleh, marilah’
Bahasa
ini adalah dialek Manado yang dipergunakan oleh dua orang remaja ketika mereka
bertemu. Harimukti Kridalaksana (1978 : 98) mengatakan bahwa BI dipergunakan
untuk keperluan-keperluan resmi, yaitu dalam :
1.
Komunikasi resmi
2.
Wacana ilmah
3.
Khotbah, ceramah dan kuliah
4.
Bercakap-cakap dengan orang yang
dihormati.
Kita kembali kepada sikap terhadap
bahasadan berbahasa. Tanggung jawab adalah juga manifestasi dari sikap, dalam
hal ini sikap positif. Sehubungan dengan itu, sikap terhadap bahasa dan
berbahasa dapat dilihat dari dua segi, yakni:
a. Siikap
positif
b. Sikap
negatif
Ada
orang yang berbiara dalam suatu rapat mencampurbaurkan kata-kata BI dan, Bahasa
Asing (BA). Orang itu barangkali berpendapat, kalau kata-katanya tidak dibumbui
kata-kata BA, maka tidak berbobotlah pembicaraannya. Padahal orang harus
menyadari bahwa bahasa mempunyai “nilai penting sebagai symbol nasional dan
identitas etnik” (Nancy Parrot, Hickerson; 1980 : 92).
Khusus
di Indonesia, BI dkatakan sebagai lambing kebanggaan dan identitas nasioanl,
sedangkan BD dikatakan sebagai lambang kebanggaan dan identitas daerah (lihat
Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional, Pusat Bahasa : 1976). Sikap
terhadap bahasa ditekankan pada segi tanggung jawab dan penghargaan terhadap
bahasa, sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri sendiri dalam
menggunakan bahasa secara tertib.
3.4
Rasa Memiliki Bahasa
Dengan
kesadaran bahasa diharapkan timbul rasa memliki bahasa. Untuk menanamka rasa
memiliki bahasa, orang harus bertitik tolak dari anggapan bahwa bahasa adalah
miliknya pribadi. Dan memang demikian keadaannya. Sebab, setiap saat kita
gunakan tanpa bertanya kepada pemiliknya. Kalau bahasa danggap sebagai milik
pribadi, konsekuensinya kita wajib memeiharanya.
3.5
Partisipasi dalam Pembinaan Bahasa
Perasaan
memiliki bahasa menimbulkan tanggung jawab dan kegiatan untuk membina bahasa
baik melalui kegiatan untuk pribadi atau kegiatan kelompok. Dengan kata lain,
usaha pertama-tama sebagai bukti keikutsertaan kita dalam pembinaan bahasa
ialah sikap kita kalau sedang menggunakan bahasa. Partisipasi seperti ini
penulis namakan partisipasi informal. Selain itu, ada partisipasi yang penulis
sebut partisipasi formal. Dalam partisipasi formal terlihat usaha kita berupa
kegiatan pembinaan melalui pertemuan formal. Kita ikut berpartisipasi dalam
forum diskusi, lokakarya, seminar, musyawarah, kongres, konferensi baik pada
tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional yang khusus membicarakan
persoalan kebahasaan. Kita menyebarkan tulisan baik berupa buku, pemuatan di
surat kabar atau majalah tentang persoalan kebahasaan.
Tentu
tidak semua pemakai bahasa diharapkan berpartisipasi secara formal. Yang
diharapkan minimal kita berpartisipasi secara informal. Dengan penuh kesadaran,
kita menggunakan bahasa secara tertib. Untuk suatu bahasa memang hal ini
merupakan perjuangan berat. Namun, kalau setiap pemakaian bahasa telah
menyadari perlunya pembinaan suatu bahasa, maka usaha apa pun yang akan dijadkan
pasti akan berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar